Mungkin hanya kaligrafi yang bisa menggabungkan dua aliran lukis berlainan kutub. Abstrak namun realis. Realis namun juga abstrak. Sehingga susah menyebutnya perpihak pada siapa.
Pada awalnya kaligrafi memang abstrak. Huruf-huruf yang disapukan bukanlah merupakan tiruan dari benda-benda yang ada di sekeliling. Namun karena imajinasi manusia selalu mengasosiasikan bentuk –mungkin untuk mempermudah– akhirnya huruf alif disebut seperti tiang listrik yang condong sedikit ke kiri (untuk gaya naskhi). Huruf ba ada yang menyebutnya seperti perahu yang tengah berlayar. Asosiasi seperti ini sering kita temukan dibuku kaidah untuk memperkenalkan istilah-istilah.
Anda sudah pernah mendengar ‘ain finjani atau ‘ain shadi? Dalam belajar kaligrafi ada beberapa istilah untuk menyebut bentuk huruf. Ain finjani merupakan huruf ain awal –disebut dalam gaya tsuluts– yang bersambung dengan huruf alif atau huruf ke atas. Finjani yang artinya cangkir (benar atau tidak ya?) itu merupakan pengasosiasian dengan bentuk cangkir yang cembung (ndemblek dalam bahasa Jawa). Sedangkan ‘ain shadi merupakan ‘ain awal biasa yang bersambung dengan huruf datar atau huruf menurun.
Namun kesemuanya itu hanya istilah. Istilah untuk menyebut keabstrakan menjadi realis.
Dan, kaligrafi yang abstrak kemudian seolah mencari bentuk untuk mendobrak “kesepiannya”. Bentuk-bentuk itu meruang, beraduk, bertumpuk-tumpuk, hingga tampak seperti rembulan yang muncul dibalik semburat awan. Atau, tiga ekor kuda liar yang seolah mencari jalan kebebasan.
0 komentar:
Posting Komentar